Senin, 14 Juni 2010

Rujuk dan Iddah

RUJUK dan IDDAH

A. Pendahuluan
Iddah dan rujuk adalah suatu istilah didalam pernikahan dimana suami dan istri berpisah, ada masa tunggunya bagi si istri dank arena perceraian suami juga boleh kembali ke istrinya.
Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang ditinggal mati suaminya atau karena perceraian atau qobla al-dukhul. Sedangkan rujuk menurut bahasa berarti kembali , adapun rujuk menurut istilah adalah kembalinya mantan suami kepada mantan istrinya yang ditalaknya dengan talak raja’I untuk kumpul kembali pada masa iddah tanpa akad nikah baru. Allah
berfirman :وبعو لتهن احق بردهن فى ذلك ان ارادوا اصلحا ولهن مثل
الذى عليهن بالمعروف ولرجال عليهن درجة و الله عزيز حكيم

Artinya :…. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibanya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami , mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya dan allah maha perkasa lagi maha bijaksana. (QS al-Baqarah : 228)

B. RUMUSAN MASALAH
Secara sepintas kata rujuk dalam pernikahan berarti kembalinya mantan suami kepada mantan istrinya dalam masa iddah sesudah talak raj’I , Berbagai permasalahan pun timbul mengenai apa sih sebenarnya arti rujuk dan iddah itu dalam pernikahan ? Bagaimana tata cara rujuk dan iddah? apakah yang menjadi rukun dan syarat sahnya rujuk?.


C. PEMBAHASAN
A. Pengertian Rujuk
Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i. sebagaimana Firman allah dalam surat al-baqarah :228
وبعو لتهن احق بردهن فى ذلك“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka(para suami) itu menghendaki islah”. (Q.S.Al-Baqarah:228)
B. Pendapat Para Ulama tentang Rujuk

Rujuk adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa idah. Oleh karena itu ia tidak berhak membatalkannya, sekalipun suami missal berkata: “Tidak ada Rujuk bagiku” namun sebenarnya ia tetap mempunyai rujuk. Sebab allah berfirman yang artinya: “Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa penantian itu”. (al-Baqarah:228)Karena rujuk merupakan hak suami, maka untuk merujuknya suami tidak perlu adanya saksi, dan kerelaan mantan istri dan wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnah, karena di khawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami.Rujuk boleh diucapkan, seperti: “saya rujuk kamu”, dan dengan perbuatan misalnya: “menyetubuhinya, merangsangnya, seperti menciummnya dan sentuhan-sentuhan birahi.Imam Syafi;I berpendapat bahwa rujuk hanya diperbolehkan dengan ucapan terang dan jelas dimengerti. Tidak boleh rujuk dengan persetubuhan, ciuman, dan rangsangan-rangsangan nafsu birahi. Menurut Imam Syafi’I bahwa talak itu memutuskan hubungan perkawinan.Ibn Hazm berkata: “Dengan menyetubuhinya bukan berarti merujuknya, sebelum kata rujuk itu di ucapkandan menghadirkan saksi, serta mantan istri diberi tahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis.” Menurut Ibn Hazm jika ia merujuk tampa saksi bukan disebut rujuk sebab allah berfirman:فإذا بلغن اجلهن فامسكوهن بلمعروف او فا رقوهن بل معروف وا شهدوا ذوي عدل منكم واقيمواالشها دة لله
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir masa iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik dan lepaskanlah meereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (Q.S. At-Thalaq: 2C. Syarat dan Rukun Rujuk
1. Syarat Rujuk
a. Imam malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunnahkan, sedangkan Imam syafi’I mewajibkan. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena pertentangan antara qiyas dengan zahir nas Al-qur’an yaitu: ....2.واشهدوا ذوى عدل منكم...............(الطلاق :)“…….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil…..”
Ayat tersebut menunjukan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan haq rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang, menghendaki tidak adanya saksi. Oleh karena itu, penggabungan antara qiyas dengan ayat tersebut adalah dengan membawa perintah pada ayat tersebut sebagai sunnah.
b. Belum habis masa idahc. Istri tidak di ceraikan dengan talak tigad. Talak itu setelah persetubuhan.dalam surat al-ahzab ayat 49 yang artinya “Hai orang-oran yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu ceraikan sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya maka berikanlah mereka mut’ah dan lepaskanah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.

2. Rukun Rujuk :
1) Suami yang merujuk
Syarat-syarat suami sah merujuk:
a) Berakalb) Balighc) Dengan kemauan sendirid) sighat (ucapan)
► cara merujuk yang dilakukan suami ada dua cara :
1. dengan cara sharih (jelas), seperti ucapan suami kepada istrinya: ,,saya ruju’ kepadamu”. Ucapan ini harus disertai niat.
2. Dengan ucapan kinayah (sindiran). Seperti ucapan: ,,saya ingin memegang kamu”. Ucapan ini harus disertai niat meruju’
2) Ada istri yang di rujuk
Syarat istri yang di rujuk:
a) Telah di campuri
istri telah dicampuri oleh mantan suami, sebab jika istri belum pernah dicampuri tidak ada iddah dan berarti tidak ada rujuk
b) istri dalam keadaan talak raj’i
jika ia ditalak dengan talak tiga, maka ia tidak dapat dirujuk lagi.c) istri masih dalam masa iddah
3) Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik. 4) Dengan pernyataan ijab dan qabulSyarat lafadz (ucapan) rujuk:a) Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”. b) Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister mengatakan mahu.c) Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan
D. Hukum Rujuk1. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.2. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri tersebut.3. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.4. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.5. Sunat Sekiranya mendatangkan kebaikan

E. Prosedur rujuk
Pasangan mantan suami-istri yang kan melakukan rujuk harus dapat menghadap PPN (pegawai pencatat nikah) atau kepala kantor urusan agama (KUA) yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan membawa surat keterangan untuk rujuk dari kepala desa/lurah serta kutipan dari buku pendaftaran talak/cerai atau akta talak/cerai.
Adapun prosedurnya adalah sebagaiu berikut:a. Di hadapan PPN suami mengikrarkan rujuknya kepada istri disaksikan mimimal dua orang saksi.b. PPN mencatatnya dalam buku pendaftaran rujuk, kemudian membacanya di hadapan suami-istri tersebut serta saksi-saksi, dan selanjutnya masing-masing membubuhkan tanda tangan.c. PPN membuatkan kutipan buku pendaftaran rujuk rangkap dua dengan nomor dan kode yang sama.d. Kutipan ddiberikan kepada suami-istri yang rujuk.e. PPN membuatkan surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan dan mengirimnya ke pengadilan agama yang mengeluarkan akta talak yang bersangkutan.f. Suami-istri dengan membawa kutipan buku pendaftaran rujuk datang ke pengadilan agama tempat terjadinya talak untuk mendapatkan kembali akta nikahnya masing-masing.g. Pengadilan agama memberikan kutipan akta nikah yang bersangkutan dengan menahan kutipan buku pendaftaran rujuk.
F. Hikmah Rujuk1. Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga2. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.3. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian.


PENGERTIAN IDDAH
Iddah ialah masa menunggu yang diwajibkan ke atas seseorang perempuan yang ceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, untuk mengetahui samada perempuan itu hamil atau sebaliknya atau untuk menunaikan satu perintah dari Allah.
MACAM-MACAM IDDAH
Iddah terbahagi kepada dua bahagian :
1. Iddah perempuan yang kematian suami.
a. Jika hamil – iddahnya ialah dari tarikh mati suaminya sehingga lahir anak yang dikandungnya itu. Hukum ini berdasarkan firman Allah:
Artinya : Perempuan-perempuan yang hamil, iddah mereka ialah sehingga lahir anak yang dikandung oleh mereka.
(Surah Talaq : ayat 4)
b. Jika tidak hamil – iddahnya ialah selama empat bulan sepuluh hari, walaupun ia belum pernah disetubuhi atau pun isteri itu masih kanak-kanak atau suami yang mati itu masih kanak-kanak. Hukum ini berdasarkan firman Allah :
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu, sedangkan mereka meninggalkan isteri, hendaklah isteri-isteri itu beriddah selama empat bulan, sepuluh hari.
(Surah Al-Baqarah : ayat 234)
Kedua-dua ayat tersebut telah menerangkan hukum yang jelas bagi iddah isteri yang kematian suami, samada isteri yang hamil atau sebaliknya. Tetapi terdapat dua pendapat yang berlainan berhubung dengan iddah perempuan yang kematian suami, sedangkan ia hamil dan anak yang dikandungnya itu lahir sebelum sampai empat bulan sepuluh hari dan tarikh kematian suaminya. Adakah iddahnya selesai dengan lahirnya anak tersebut atau pun iddah akan selesai apabila cukup empat bulan sepuluh hari ?

1. Pendapat Jamhurul Al-Salaf : iddahnya akan habis dan selesai apabila lahir sahaja anak yang dikandung itu, walaupun belum sampai empat bulan sepuluh hari dari tarikh mati suaminya. Ini berdasarkan ayat empat, surah al-Talaq yang lalu.
2. Pendapat yang lain yang diriwayatkan dari Ali : iddahnya ialah mengikut masa mana yang lebih panjang, maksudnya, jika anak yang dikandungnya itu lahir sebelum sampai empat bulan sepuluh hari dari tarikh mati suaminya itu, iddahnya tunggu sehingga genap empat bulan sepuluh hari.
Selain dari itu terdapat juga perselisihan pendapat berhubung dengan iddah perempuan yang kematian suami, sedangkan ia hamil tetapi anak yang dikandungnya itu bukan anak dari suami yang mati, malah hasil dari zina isteri, adakah iddahnya selesai apabila lahir anak yang dikandungnya itu atau pun ia beriddah selama empat bulan sepuluh hari sahaja :
1. Pendapat Al-Syafie – iddahnya dengan kiraan bulan (empat bulan sepuluh hari).
2. Pendapat Abu Hanafiah – iddahnya selesai sehingga lahir anak yang dikandungnya itu.
2. Iddah perempuan yang diceraikan oleh suami (cerai hidup) atau fasakh :
a. Jika hamil – iddahnya selesai apabila lahir sahaja anak yang dikandungnya itu samada hidup atau mati, ini berdasarkan ayat yang lalu. Begitu juga akan selesai iddahnya apabila lahir (gugur) seketul daging yang ada rupa atau bentuk anak Adam, walaupun tak begitu jelas bagi pandangan biasa, tetapi menurut kata-kata bidan yang berpengalaman atau ahli-ahli perubatan bahawa yang lahir itu, itulah yang dikandung oleh perempuan ini, ertinya tidak ada yang lain dari itu.
b. Jika tidak hamil dan perempuan itu dari golongan perempuan yang mempunyai haid- iddahnya ialah tiga kali suci, hukum ini berdasarkan firman Allah :
Artinya : perempuan-perempuan yang ditalak, hendaklah mereka beriddah tiga kali suci.
(Al-Baqarah : ayat 228)
Jika perempuan itu diceraikan di masa suci yang tidak disetubuhi, walaupun hampir masa haid, iddahnya akan selesai sebaik sahaja masuk pada haid yang ketiga, tetapi jika ia diceraikan di waktu sedang haid, iddahnya akan selesai apabila masuk haid yang keempat. Lihat semula bahagian talaq sunni dan bad’i.
Iddah perempuan yang mustahdhah (yang keluar darah selain dari darah haid dan nifas) sedangkan ia tahu bilangan hari haid, maksudnya perempuan yang sudah biasa menempuh masa haid sebelum itu – iddahnya ialah tiga kali suci juga, tetapi iddah perempuan yang mustahadhah yang masih belum tahu bilangan masa haidnya dengan tepat, seperti perempuan yang baru sahaja mengalami haid- masa iddahnya dengan kiraan bulan iaitu selama tiga bulan.
c. Jika perempuan yang diceraikan itu masih budak (belum pernah haid) atau atau pun yang telah tua tidak ada haid lagi – iddahnya ialah : selama tiga bulan. Hukum ini berdasarkan firman Allah:
Artinya : Perempuan-perempuan tua yang tidak haid lagi dari perempuan-perempuan kamu, jika kamu ragu, maka iddahnya tiga bulan begitu juga perempuan-perempuan yang belum pernah haid.
(Al-Talak : ayat 4)
Perempuan yang tidak haid adalah seperti berikut :
1. Yang masih kecil (belum cukup umur)
2. Yang sudah cukup umur tetapi belum pernah haid.
3. Perempuan yang sudah pernah haid tetepi sudah tua dan putus haidnya tak ada lagi.
BEBERAPA MASALAH DAN HUKUM BERHUBUNG DENGAN IDDAH
1. Isteri yang diceraikan oleh suaminya sebelum disetubuhi (belum pernah), tidak dikenakan iddah, berdasarkan firman Allah)” Yang artinya : Wahai orang yang beriman apabila kamu menghuni perempuan-perempuan yang beriman kemudian kamu talak mereka sebelum kamu setubuhi, maka mereka tidak dikenakan iddah.
(Surah Al-Ahzab : ayat 49)
2. Perempuan yang terputus haidnya sebelum atau sudah digugurkan talak, disebabkan sesuatu seperti sakit, nifas atau menyusukan anak – hendaklah ia bersabar menunggu kedatangan haids semula, kemudian barulah berjalan iddahnya iaitu tiga kali suci, dan sekiranya tidak datang haid, ia mesti menunggu sehingga sampai ke peringkat umur putus asa dari haid, kemudian bolehlah ia beriddah mengikut kiraan bulan iaitu tiga bulan.
3. Jika datang haid bagi perempuan yang tidak ada haid atau pun haid semula bagi perempuan yang sudah putas asa dari haid (orang tua) sedang kedua-dua jenis perempuan ini beriddah mengikut kiraan bulan – hukumnya, kedua-dua mestilah beriddah semula, mengikut kiraan suci iaitu tiga kali suci, sebagaimana orang yang sembahyang dengan bertayammum, sebab ketiadaan air, tiba-tiba diperolehi air sedang ia bersembahyang, terbatallah sembahyangnya dan ia mesti mengambil wudu’, kemudian memulakan sembahyang lain (dari mula).
4. Perempuan yang dicerai dengan talak raj’i jika ia sedang dalam iddah, tiba-tiba bekas suaminya itu meninggal dunia, maka iddahnya beralih mengikut iddah mati iaitu, empat bulan sepuluh hari, kecuali jika ia diceraikan dengan talak ba’in, iddahnya adalah seperti biasa, kerana ia tidak dianggap sebagai isteri lagi, sebab cerai ba’in cerai yang tidak boleh dirujuk semula.
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM MASA IDDAH
1. Perempuan yang taat (tidur nusyuz) dalam masa iddah raj’i (yang boleh rujuk semula), berhak menerima dari suami yang menceraikannya, tempat tinggal, pakaian dan segala perbelanjaan yang lain, makanan dan sebagainya. Kecuali jika ia nusyuz (durhaka) maka tidaklah berhak mendapat segala-segala itu, adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
Ertinya : Dari Fatimah bte Qais, telah bersabda, Rasulullah SAW kepdaanya: perempuan yang berhak menerima nafkah, tempat kediaman dari bekas suaminya itu ialah apabila bekas suaminya itu berhak rujuk semula dengannya.
(Riwayat Ahmad dan Nasa’i)
2. Perempuan yang sedang dalam iddah ba’in, samada ba’in sighah, seperti tebus talak atau ba’in Kubri iaitu talak tiga yang hamil, berhak mendapat tempat kediaman, pakaian dan makanan. Firman Allah:
Ertinya : Jika mereka hamil maka hendaklah kamu beri nafkah mereka hingga lahir anak kandungan tersebut.
(Surah Al-Talak : ayat 6)
3. Perempuan yang di dalam iddah ba’in sighah atau kubri yang tidak hamil, berhak menerima dari bekas suaminya hanya tempat tinggal sebagaimana firman Allah yang artinya : berilah mereka tempat kediaman yang sepadan dengan keadaan dan taraf kamu.
Surah al-Talak : ayat 6
Ini adalah satu pendapat dari ulama’ dan pendapat yang lain pula mengatakan bahawa perempuan yang cerai ba’in dan tidak hamil, tidak berhak menerima tempat tinggal dan juga nafkah, berdasarkan hadith Rasulullah:
Artinya: Dari Fatimah binti Qais Nabi SAW mengenai perempuan yang dicerai talak tiga, sabda Rasulullah, ia tidak berhak mendapat tempat tinggal dan tidak berhak menerima nafkah.
Firman Allah SWT dalam surah al-Talaq ayat 6 :
Mengikut pendapat mereka ialah ditujukan untuk perempuan yang sedang di dalam iddah raj’i sahaja.
HIKMAH IDDAH
Iddah ialah masa menunggu yang diwajibkan ke atas seorang
perempuan yang ceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, untuk mengetahui samada perempuan itu hamil atau sebaliknya atau untuk menunaikan satu perintah dari Allah.
1. Untuk mengetahui samada isteri yang diceraikan itu (cerai hidup atau cerai mati) hamil atau sebaliknya. Dengan ini akan terletak dari bercampur aduk keturunan, apabila bekas ister tersebut berkahwin dengan lelaki lain pula.
2. Untuk memanjangkan masa rujuk, jika cerai itu talak raj’i. Dengan adanya masa yang panjang dan lama dapat memberi peluang kepada suami untuk berfikir dan mungkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu dengan ini akan rujuk kembali.
3. Sebagai penghormatan kepada suami yang meninggal dunia. Bagi seorang isteri yang kematian suami yang dikasihinya sudah tentu akan meninggalkan kesan yang pahit di jiwanya, dengan adanya iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah merupakan suatu masa yang sesuai untuk ia bersedih, sebelum memulakan hidup yang baru di samping suami yang lain.

D.KESIMPULAN
Rujuk menurut bahasa artinya kembali sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa idah sesudahditalak raj’i. Dalam KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal:a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di jatuhkan qabla al dukhul.b. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulukJadi pada dasarnya rujuk boleh dilakukan apabila kedua mempelai hendak islah (berbaikan kembali). Dan rujuk dapat sah apabila sudah memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu. Adapun yang menjadi hikamah rujuk diantaranya ialah:Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga. Dan masih banyak lagi. Hukum rujuk itu sendiri seperti yang sudah di jelaskan di atas ada 5 yaitu wajib, Sunnah, Haram, Mubah dan makruh.
Iddah ialah masa menunggu yang diwajibkan ke atas seseorang perempuan yang ceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, untuk mengetahui samada perempuan itu hamil atau sebaliknya atau untuk menunaikan satu perintah dari Allah.
E. PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami tampung demi kelancaran makalah kami berikutnya. semoga bermanfaat bagi pembaca amin ya robbal aalamin
F . REFERENSI
- Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminudin. Fiqh munakahat II. CV Pustaka Setia cet I 1999 Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar