I. PENDAHULUAN
Allah tidak membiarkan manusia pria dan wanita berkumpul mengadakan hubungan semaunya sendiri layaknya hewan. Maka secara khusus Allah S.W.T menetapkan perkawinan, sebagai jalan untuk bolehnya berkumpul dan mengadakan hubungan untuk melaksanakan perkawinan. Allah menetapkan peraturan – peraturan yang baik, sehingga dengan manusia akan mempunyai keturunan yang lahir dan dibesarkan dalam pengayoman bapak dan ibu meraka yang sayang kepadanya, dipelihara dalam lingkunagan keluarga yang selalu menjaga dengan pengawasan yang sempurna serta pendididkan yang setara.
Agama Islam memelihara keturunan, agar jangan sampai didustakan, dipalsukan dan disia-siakan. Islam menetapkan bahwa ketentuan keturunan itu menjadi hak anak, anak akan dapat menangkis penghinaan, atau keterlantaran yang mungkin menimpa dirinya. Setiap ibu mempunyai kewajiban menolak hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya. Demikian juga ayah bertanggung jawab memelihara keturunannya dan keturunan anak cucunya, agar jangan sampai tersia-siakan dan dihubungkan dengan keturunan orang lain.
Dari hal tersebut diatas maka agama Islam menanggulangi keperluan manusian tentang penjelasan hukum – hukum yang khusus mengenai anak-anak, dalam bidang pemeliharaan dan perwalian anak. Dan hukum itulah yang akan kami paparkan dalam bab-bab yang ada pada makalah ini dengan memaparkan bagaimana hukum-hukum itu menjelaskan sejauh mana agama islam memelihara anak-anak, dan menciptakan suasana yang nyaman untuk kebaikan dan kesejahteraan mereka.
II. PEMBAHASAN
A. Peraturan Tentang Tetapnya Keturunan
Islam tidak membiarkan masalah keturunan diperlakukan semaunya sendiri oleh yang bersangkutan, bahwa mereka mengakui adanya hubungan keturunan jika mereka senangi, sebaliknya seenaknya melenyapkan keturunan seseorang jika mereka tidak menyenanginya. Dengan latar belakang seperti itu. Islam menetapkan sahnya keturunan jika diketemukan 3 (tiga ) syarat yaitu : perkawinan, pengakuan dan bukti. ( Hukum Anak-anak dalam Islam, Hal 16 )
Syarat Pretama ; Perkawinan yang sah
Perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang sudah resmi, antara seorang laki-laki dan wanita. Jika wanita itu hamil lalu melahirkan, tentulah hamilnya dari suaminya itu, dan keturunannya yang lahir bersambung keatas dengan keturunan ayahnya. Dalam hal ini tidaklah perlu ayah mengakui anaknya itu dan ibu membuktikan hamilnya dengan suaminya tersebut. Hal ini juga dijelaskan dalam KHI anak yang sah adalah :
Pasal 99
a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah .
b. hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Perkawinan yang menyebabkan sahnya hubungan keturunan itu harus ada 3 ( tiga ) syarat[1], yaitu
1. Hamilnya isteri dari suaminya merupakan suatu hal yang mungkin terjadi.
2. Isteri melahirkan anaknya, sedikitnya setelah berlalu 6 ( enam ) bulan dari tanggal dilangsungkannya ‘aqad nikah, karena masa enam bulan itu adalah masa hamil yang paling sedikit.
3. Bahwa suami tidak mengingkari hubungan keturunan anak itu dengan dirinya.
Syarat kedua : Pengakuan
a. Pengakuan keturunan ada dua macam :
1. Keturunan ditetapkan karena ayah sendiri yang mengakuai anaknya, yaitu sebagai anak yang langsung setelah lahirnya atau keturunan yang telah pasti.
2. Keturunan ditetapkan karena pengakuan orang lain lebih dulu, jika tidak langsung dari lahirnyua anak tersebut.
b. Syarat – syarat untuk mengakui hubungan keturunan dengan seseorang :
1. Anak yang diakui iyu memeang tidak diketahui keturunannya
2. Ditinjau dari segi umur. Anak yang diakui itu pantas sebagai anak dari bapak yang mengkuinya.
3. Anak yang diakui itu membenarkan pengakuan bapak tersebut.
Syarat ketiga : Bukti
Asal usul seorang anak dapat dibuktikan melalui akta kelahiran dan alat – alat bukti lainnya. Dalam KHI Pasal 103
1. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
2. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
3. Atas dasar penetapan pengadilan agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
B. Hukum-Hukum Penyusuan
Bayi berhak menyusu semata-mata dengan kelahirannya, supaya ia bertambah besar, tumbuh dan makan makanaan yang wajar yaitu susu ibunya, yana dialirkan oleh aAllah dalam anggota sang ibu untuk menjadi makanan yang penuh gizi bagi anaknya. Anjuran dalam menyusui anak kurang lebih 2 tahun sejak kelahiran anak tersebut.
Sang ibu wajib menyusui anaknya dan hakim dapat memaksa ibu untuk menyusui anak dari ibu anak tersebut. Jika dalam pemaksaan tersebut ibu merasa disusahkan, maka kesusahan itu hanya kecil saja, kalau dibandingkan dengan bencana yang akan menimpa bayinya dalam umur sekian. Hal ini dijelaskan pada Q.S. Al Baqarah, 233 yang berbunyi :
والوالد ت يرضعن ألادهن حو لين كا ملين لمن اراد ان يتم الرضا عة وعلى المو لودله رزقهن وكسوتهن بلمعروف لاتكلف نفس إلا وسعها لاتضار والد ة بو لد ها ولامولود له بولده.
“ Dan ibu-ibu menyusukan anak-anak mereka dua tahun yang sempurna, bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan bagi ayah, diwajibkan memberi nafkah mereka, dan pakaian mereka dengan cara yang baik. Suatu jiwa tidak dibebani kecuali menurut kesanggupannya saja. Tidak boleh si ibu merasa disusahkan karena bayinys dan juga tidak boleh siayah disusahkan karena masalah anaknya”. ( Q.S. Al Baqoroh : 233 )
Kalau misalnya si ibu tidak mau menyusukan bayinya kecuali dengan syarat upah tertentu, dan ada orang lain yang mau menyusukan secara gratis atau dengan dengan syarat upah yang lebih sedikit, dalam hal ini si ibu tidak lagi diutamakan untuk menyusukan anaknya dan tugas menyusukan diserahkan kepada wanita lain yang mau menyusukan dengan gratis atau yang mau menyusukan dengan syarat upah yang lebiuh sedikit.
Dengn demikian kesejahteraan anak dapat diwujudkan, tanpa memberatkan sang ayah dengan paksaan membayar upah yang mahal.
Dalam KHI Pasal 104
1. Semua biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebabkan kepada orang yang berkewajiban member nafkah kepada ayahnya atau walinya.
2. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dari dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.
C. Pengasuhan Anak.
Mengasuh anak maksudnya mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makanan, minuman, pakaiannya serta kebersihannya. Mengurus anak adalah hak ibu apalagi ketika anak tersebut belum mumayiz. Hak mengsuh diutamakan pada kaum wanitadan dari keluarga ibu, karena wanita lebih mampu dari laki-laki untuk mengurus anak serta lebih banyak kasih sayangnya.
Syarat – syarat bolehnya seseorang menjadi pengasuh[2]
1. Pengasuh itu sudah dewasa.
2. Pengasuh itu waras.
3. Pengsuh itu sehat.
4. Pengasuh harus memiliki sifat jujur
Laki-laki sebagai pengasuh :
Kalau tidak ada wanita yang mahrom yang berhak mengasuh seorang anak, maka hak mengasuh anak pindah kepada kaum keluarganya yang laki-laki.
D. Perwalian Terhadap Diri dan Harta Anak
Seorang anak yang lahir kedunia ia membutuhkan orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya ataupun harta benda hak miliknya. Oleh sebab itu pewalian yang berlaku terhadap seorang anak ada tiga macam yaitu : ( Hukum Anak-anak dalam Islam hal 106 )
1. Perwalian terhadap urusan mengasuh dan menyusukan anak
2. Perwalian terhadap dirinya
3. Perwalian terhadap hak miliknya.
Perwalian terhadap diri anak
Dalam KHI BAB XV PERWALIAN
Pasal 107
1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai dalam melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut
4. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Seorang yang berhak menjadi wali terhadap diri anak ialah kerabatnya yang terdekat, yang mempunyai hubungan darah dengan anak itu yaitu ayahnya. Wali ini bertingkat-tingkat sama dengan tingkatan mereka dalam menerima harta warisan.
Jika salah satu syarat tersebut hilang maka hak perwaliannya dapat dicabut atas permohonan kerabatnya. Dalam hal pencabutan hak perwalian jika wali tersebut mengalami beberapa keadaan antara lain :
1. Wali dikenakan hukuman kerja paksa seumur hidup atau sementara
2. Wali dikenakan hukuman yang bersangkutan dengan pidana
3. Wali dikenakan hukuman karena melakukan kesalahan yang membahayakan anak yang dibawah perwaliannya.
4. Wali tidak mengasuh anaknya dengan baik.
Dalam KHI Pasal 109 berbunyi
Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali terseebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada dibawah perwaliannya.
Perwalian terhadap hak milik anak
Perwalian terhadap hak milik anak mencakup transaksi dan ‘aqad yang berhubungan dengan hak milik anak. Perwalian ini ditetapkan kepada anak kecil, orang gila, orang idiot, dan boros.[3]
Perwalian kepada anak kecil berlaku sampai anak itu dewasa dan hal ini diterangkan dalam Firman Allah :
وابتلوا اليتمى حتى اذا بلغوا النكاح فإن ا نستم منهم رشدا فادفعوا اليهم أموالهم .
“dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu, sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian, jika kamu berpendapat bahwa mereka sudah cerdas, sudah pandai memelihara harta, maka hendaklah kamu serahkan kepada mereka harta-harta itu.” ( Qs. An Nisa’, 6 )
Dalam KHI Pasal 111
1. Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada dibawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah kawin
2. Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada dibawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.
Perwalian terhadap anak kecil, sedari lahirnya menjadi hak ayahnya. Perwalian terhadap anak yang bodoh atau pelepa tetap menjadi hak ayah atau kakeknya.wali boleh menggunakan harta milik anak yang dibawah perwaliannya untuk kepentingan anak itu atau mempergunakan sebaiknya dengan catatan harus dapat mengemukakan alas an-alasan yang mendorong kenapa menggunakan harta tersebut. Harta anak yang dibawah perwaliannya seorang wali tidak boleh meminjamkan harta tersebut kepada orang lain kecuali dengan idzin hakim.
III. KESIMPULAN
Agama Islam memelihara keturunan, agar jangan sampai didustakan, dipalsukan dan disia-siakan. Islam menetapkan bahwa ketentuan keturunan itu menjadi hak anak, anak akan dapat menangkis penghinaan, atau keterlantaran yang mungkin menimpa dirinya. Setiap ibu mempunyai kewajiban menolak hal yang menghinakan dari tuduhan-tuduhan yang tidak baik terhadap anaknya. Demikian juga ayah bertanggung jawab memelihara keturunannya dan keturunan anak cucunya, agar jangan sampai tersia-siakan dan dihubungkan dengan keturunan orang lain.
Islam tidak membiarkan masalah keturunan diperlakukan semaunya sendiri oleh yang bersangkutan, bahwa mereka mengakui adanya hubungan keturunan jika mereka senangi, sebaliknya seenaknya melenyapkan keturunan seseorang jika mereka tidak menyenanginya.
Dengan adanya ketetapan hukum – hukum anak maka anak – anak tidak menjadi terlantar dengan kehidupan yang belum di mengerti dan kesejahteraannya akan terpenuhi samapai beranjak dewasa dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang kami tuliskan jika ada kekurangan dalam penulisan itu karena masih keterbatasan kita dalam pengetahuan dan kami mengharap kritik dan saran bagi kesempurnaan kami untuk selanjutnya. Semoga makalah yanga kami sajikan bermanfaat bagi pembaca.
V. REFERENSI
ü Al Barry Ahmad Zakariya, Hukum Anak-Anak dalam Islam, ahkamul Auladi fil Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1977
ü Mohammad Fauzil Adhim, Bersikap Terhadap Anak,Titian Illahi Pers, Yogyakarta 1996
ü Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media.
ü Al Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al Haramain asy Syarifaini.
ü H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung 2007
[1] Zakariya Ahmad Al Barry, Hukum Anak-Anak Dalam Islam Hal 14
[2] Ibid Hal 57
[3] Ibid Hal 111
Thank's Infonya Bray .. !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id