Senin, 26 Juli 2010

HUKUM WARIS

A. PENDAHULUAN
Hukum waris merupakan bagian dari hokum harta kekayaan,khususnya hokum benda.Akan tetapi,sebaliknya hukum waris mempuyai hubungan yang sangat erat dengan hukum kekeluargaan.karna itu,pertama-tama yang berhak mewarisi harta benda yang meninggal ialah keluagannya.
Dalam pembahasan hukum waris ditempatkan dalam bab IV menempati urutan sesudah hokum perikatan. Hukum waris jika diatur dalam undang-undang. Selain hokum waris KUHper adajuga hokum waris adapt dan hokum waris islam.

B. PERMASALAHAN
1. Pengertian hukum waris
2. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
3. Sistem Kewarisan KUHPdt
4. Hak mewaris menurut undang-undang
5. Tiga penggantian dalam hukum waris
6. Kewajiban-kewajaban seorang ahli waris
7. Peraturan-peratun yang berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan.

C. PEMBAHASAN
1. Pengertian hukum waris
Hukum waris (Esfrecht, KUH Per 830) adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain. (C.S.T Kansil dan Christine ST Kansil, Modul hukum perdata hal 143)
Hukum waris termasuk hukum benda, inti hukum waris itu ialah mengatur tentang hak waris.
Hak waris ialah hak kebendaan, dengan demikian pembentukan-pembentukan KUH perdata menempatkan hukum waris dalam buku 11 KUH perdata tentang hukum benda.(Abdul Kadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia hal 267)
Jika dirumuskan, maka "Hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya hukum warisan dari pewaris karena kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk."
2. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, Hukum Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Disamping itu, hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu.
Hukum Kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam al-Qur’an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan sifat peralihan harta kepada ahli warisnya, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu (Syarifuddin, 2005:17).
1. Asas Ijbari
Secara etimologi memiliki arti paksaan yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sediri. Hukum kewarisan Islam menjalankan asas ini, berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada ahli waris berlaku dengan sendirinya, menurut kehendak Allah dan tidak kepada kehendak para pewaris (ahli waris). Unsur terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan. Adanya asass ini dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi. Yaitu segi peralihan harta, segi jumlah harta yang beralih dan segi kepada siapa harta itu beralih. Hal ini dapat dipahami dalam beberapa surat an-Nisa' ayat 7,11,12 dan 176, namun dalam kewarisan Islam tidak mengharuskan seseorang mendapat jumlah harta sesuai ketentuan.
Dijalankannya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau permintaan dari ahli warisnya.
Adanya unsur ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan memberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan hukum Islam, ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajiban melunasi utang itu dengan hartanya sendiri (Syarifuddin, 2005:18).
Asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang beralih dan dari segi kepada siapa harta itu beralih. Hal ini dapat dipahami dalam beberapa ayat dalam surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176 (Syarifuddin, 2005:19).
2. Asas Bilateral
Membicarakan asas ini berarti berbicara tentang kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
Asas bilateral ini secara nyata dapat dilihat dari firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya, begitu pula pada seorang perempuan. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu. Kemudian pada ketiga ayat yang lain diatas, secara jelas bahwa kewarisan itu beralih ke bawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu), ke samping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga yaitu dari garis laki-laki dan garis perempuan. Inilah yang dinamakan kewarisan secara bilateral (Syarifuddin, 2005:20-21).
3. Asas Individual
Asas kewarisan secara individual mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan kewajiban, yang didalam Ushul Fikih disebut “ahliyat al-wujub” (Syarifuddin, 2005:21).
4. Asas Keadilan Berimbang
Kata ‘adil’ merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-‘adlu (العدل) yang didalam al-Qur’an disebutkan lebih dari 28 kali. Kata al-‘adlu itu dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula, sehingga akan memberikan definisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunaannya.
Hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya kewarisan, kata tersebut dapat diartikan, keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam Islam. Artinya sebagaimana pria, wanita pun mendapatkan hak yang sama kuat untuk mendapatkan warisan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 7.
Ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena adil dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan (Syarifuddin, 2005:24-25).
5. Asas Semata Akibat Kematian
Asas ini mengandung pengertian bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup. Dengan demikian, hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup.
Asas ini dapat digali dari penggunaan kata “waratsa” (ورث) yang banyak terdapat dalam al-Qur’an dan beberapa kali digunakan dalam ayat-ayat kewarisan. Dari keseluruhan pemakaian kata-kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah yang mempunyai harta itu meninggal dunia (Syarifuddin, 2005:28-29).
3. Sistem Kewarisan KUHPdt
Sistem kewarisan KUHPdta tidak dapat dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan, antara suami dan istri, semua berhak mewarisi. Bagian anak laka-laki sama dengan bagian anak perempuan. Bagian seorang istri atau suami sama dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak.
Apabila dihubungkan dengan system keturunan, maka KUHPdt menganut sistem keturunan bilateral, di mana setiap orang itu menghubungkan dirinya ke dalam keturunan ayah atau ibunya. Artinya ahli waris berhak mewarisi dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewarisi dari ibu jika ibu meninggal.
Apabila dihubungkan dengan system keturunan, maka KUHPdt menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris), harta warisan (peninggalan) dapat dibagi-bagi pemilikannya antara para ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya.
Jadi, sistem kewarisan yang dianut oleh KUHPdt adalah sistem kewarisan individual bilateral. Artinya setiap ahli waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang menjadi haknya, baik harta warisan dari ibunya maupun harta warisan dari ayahnya.
Jika dibandingkan dengan hukum waris islam, maka antara sistem kewarisan KUHPdt dan sistem kewarisan islam terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah bahwa baik hukum waris KUHPdt maupun hukum waris islam menganut sistem kewarisan individual bilateral. Sedangkan perbedaannyan adalah terletak pada besarnya bagian yang diterima ahli waris:
1. Menurut hukum waris Islam, bagian anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama. Demikian juga bagian suami dan istri sama dengan bagian anaknya.
2. Menurut hukum waris Islam, bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan (Surat An-Nisa' ayat 11).
4. Hak mewaris menurut undang-undang
Siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang diatur sebagai berikut oleh undang-undang. Untuk menetapkan itu, anggota-anggota keluarga si meninggal, dibagi dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewarisi semua harta peninggalan. Sedangkan anggota keluarga lain-lainnya tidak tidak mendapat satu bagian apapun. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertana itu, barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua tampil kemuka sebagai ahli waris. Seterusnya, jika tidak terdapat keluarga dari golongan kedua, barulah orang-orang dari golongan ketiga tampil kemuka.
a. Dalam golongan pertama, dimasukkan anak-anak beserta turunan-turunan dalam garis lencang ke bawah, dengan tidak membedakan laki-laki ataupun perempuan dan dengan tidak membedakan urutan kelahiran. Mereka itu mengecualikan lian-lain anggota keluarga dalam garis lencang atas dan garis lencang samping, meskipun mungkin diantara anggota-anggota keluarga yang belakangan ini, ada yang derajatnya lebih dekat dengan si meninggal.
b. Dalam golongan kedua dimasukkan orang tua dan saudara-saudara dari yang meninggal. Pada asasnya orang tua itu dipersamakan dengan saudara, tetapi bagi orang tua diadakan peraturan-peraturan yang menjamin bahwa ia pasti mendapat bagian yang tidak kurang dari 1/4 harta peninggalan.
Jika tidak mendapat sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama.
Bagian seorang anak yang lahir diluar pernikahan, tetapi diakui (erkend natuurlijk), itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada ahli waris anggota pertama maka bagian anak yang lahir diluar perkawinan tersebut 1/3 dari bagian yang akan diperolehnya seandainya dia anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.
Terhadap anak-anak yang lahir di luar perkawinan, undang-undang memuat pasal-pasal perihal "penggantian " (platsver vulling), sehingga apabila ia meninggal lebih dulu ia dapat digantikan oleh anak-anaknya sendiri.
5. Tiga penggantian dalam hukum waris
Menurut undang-undang ada tiga macam penggantian yaitu:
a. Penggantian dalam garis lencang kebawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu, dingantikan oleh semua anak-anaknya, dengan ketentuan bahwa segenap keturunan dari satu orang yang meninggal lebih dulu harus dianggap sebagai suatu staak (cabang) dan bersama-sama memperoleh bagian dari orang yang mereka ngantikan.
b. Penggantian dari garis samping (zijjlinie), dimana setiap saudara yang meninggal baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu dingantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dapat dilakukan dengan tiada batasnya
c. Penggantian dalam garis samping, dalam hal yang tampil kemuka sebagai ahli waris anggota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya dari pada seorang saudara. Misalnya, seorang paman atau keponakan. Disini ditetapkan bahwa dari saudara yang tampil kemuka sebagai ahli waris itu, jika meninggal lebih dahulu, dapat dingantikan oleh turunnya.
6. Menerima atau menolak warisan
Seorang ahli waris dapat memilih apakah ia akan menerima atau menolak warisan itu atau ada puyla kemungkinan untuk menerima tetapi dengan ketentuan ia tidak akan diwajibkan membanyar hutang-hutang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan itu.
Penerimaan secara penuh dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Dengan tegas, jika seorang dengan suatu akta menerima kedudukannya sebagai ahli waris. Sedangkan dengan secara diam-diam, jika dia dengan suatu perbuatan, misalnya dengan mengambil atau menjual barang-barang warisan, atau melunasi hutang-hutang yang meninggal, dapat dianggap telah menerima warisan itu secara penuh.
Penolakan harus dilakukan dengan suatu pernyataan kepada panitera pengadilan Negeri setempat dimana warisan itu telah terbuka. Baik penerimaan maupun penolakan selalu dihitung berlaku surut sejak hari meninggalnya orang yang meninggalkan warisan


7. Kewajiban-kawajiban seorang ahli waris
a. Melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 bulan setelahnya. Ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan negeri, bahwa menerima warisan secara benificiair.
b. Mengurus harta peninggalan sebaik-baiknya.
c. Selekasnya membereskan urusan warisan.
d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan untuk harta benda-benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan diserahkan kepada orang-orang berpiutang.
e. Memberkani pertanggungjawaban kepada sekalian penagih hutang dan orng-orang yang menerima pemberian secara legaat.
f. Memanggil orang-orang berpiutang yang tidak terkenal, dalam surat kabar resmi.
8. Peraturan-peraturan yang berlaku dalam hal penerimaan atau penolakan warisan.
a. Orang yang meninggalkan warisan diperbolehkan membatasi hak seorang ahli waris untuk memilih antara tiga kemungkinan tersebut diatas, yaitu apakah ia akan menerima penuh, menolak atau menerima warisannya dengan bersyarat
b. Pemilihan antara tiga kemungkinan tersebut oleh seorang waris tak dapat dilakukan selama warisan belum berbuka.
c. Pemilihan tidak boleh digantungkan pada suatu ketetapan waktu atau suatu syarat.
d. Pemilihan tidak dapat dilakukan hanya mengenai sebagian saja dari warisan yang jatuh kepada seseorang, artinya jika seorang ahli waris menerima atau menolak, berbuatan itu selalu mengenai seluruh bagian dalam warisan.
e. Menyatakan menerima atau menolak suatu warisan, adalah suatu berbuatan hokum yang terletak dalam lapangan hukum kekayaan.
f. Jika seorang ahli waris sebelum menentukan sikapnya, ia meninggal, maka haknya untuk memilih beralih kepada ahliwaris-ahliwarisnya.
Fidea-commis, ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si warisitu sendiri telah meninggal,warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang sudah ditetapkan dalam testemen.
Sebagai kekecualian ada dua macam fidea-commis yang diperbolehkan undang-undang.
1. Untuk memenuhi keinginan seseorang yang hendak mencegah kekayaannya dihabiskan oleh anak-anaknya.
2. Yang lazim dinamakan fidea-commis de residuo, dimana hanya ditetapkan,bahwa seorang waris harus mewariskan lagi dikemudian hari apa yang masih ketinggalan dari warisan yang diparolehnya itu.
Legitieme portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Dengan kata lain mereka itu tidak dapat "onterfd" hak atas legitieme portie, barulah timbul bila seseorang dalam suatu keadaan sungguh-sungguh tampil kemuka sebagai ahli waris menurut undang-undang.
Tentang besarnya legieteme portie bagi anak-anak yang sah ditetapkan oleh pasal 914, sebagai berikut:
1. jika hanya ada seseorang anak yang sah, maka legieteme portie berjumlah separuh dari bagian yang sebenarnya, akan diperolehnya sebagai ahli waris menurut undang-undang.
2. jika ada dua orang anak yang sah, maka jumlah legieteme portie untuk masing-masing 2/3 dari bagian yang sebenarnya akan diperolehnya sebagai ahliwaris menurut undang-undang.
3. jika ada tiga orang anak yang sah atau lebih tiga orang, maka jumlah legitieme portie itu menjadi 3/4 dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh masing-masing sebagai ahli waris menurut undang-undang.

D. KESIMPULAN
Hukum waris (Esfrecht, KUH Per 830) adalah hukum yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, Hukum Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Disamping itu, hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu.
Menurut undang-undang ada tiga macam penggantian yaitu:
a. Penggantian dalam garis lencang kebawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu, dingantikan oleh semua anak-anaknya, dengan ketentuan bahwa segenap keturunan dari satu orang yang meninggal lebih dulu harus dianggap sebagai suatu staak (cabang) dan bersama-sama memperoleh bagian dari orang yang mereka ngantikan.
b. Penggantian dari garis samping (zijjlinie), dimana setiap saudara yang meninggal baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu dingantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dapat dilakukan dengan tiada batasnya
c. Penggantian dalam garis samping, dalam hal yang tampil kemuka sebagai ahli waris anggota-anggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya dari pada seorang saudara. Misalnya, seorang paman atau keponakan. Disini ditetapkan bahwa dari saudara yang tampil kemuka sebagai ahli waris itu, jika meninggal lebih dahulu, dapat dingantikan oleh turunnya.

E. PENUTUP
Dari uraian kami tentang hukum islam dalam bagian terpenting dalam mangarahkan perkembangan masyarakat diatas semoga dapat dijadikan pembelajaran bagi kita agar dapat menempatkan hukum islam yang sesuai dengan pekembangan masyarakat seperti dalam uraian makalah kami diatas. Dan kami mohon kritik dan saran dari teman-teman sekiranya dalam makalah kami terdapat kekurangan-kekurangan yang sekiranya dapat membangun kami supaya lebih baik dilain kesempatan.

F. REFERENSI
Kansil,dkk, Modul hukum perdata,Pradnya Paramita,Jakarta,2000
Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,PT Intermasa,Jakarta.1982
Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung,1993
KUHPer Burgenlijk Wetboek, Wacana Intelektual,